Perbincangan Daring Tanpa Bicara

Pandemi Covid-19 sudah jelas mengubah cara kita berinteraksi dan, ujung-ujungnya, manusia harus mampu beradaptasi, melakukan mitigasi. Pertanyaan yang harus dijawab adalah "Udah belajar apa aja, sih, setahun ini?". Kita dipaksa dan terpaksa untuk tetap di rumah (walau tetap ada bandel-nya), menyusun kebiasaan baru, oh, justru mengembalikan kebiasaan lama. Seperti apa yang terjadi pada diri saya, merindukan menuliskan buah pikiran dan rasa. How good it is sound.


Sampai pada suatu titik, kok gue banyak nonton podcast, ya. Padahal, kalau ditanya arti podcast, nggak paham juga. Stupidly saying. Harap maklum, ya. Gaptek, ya, anggap, aja, demikian. Harapannya, sih, mampu beradaptasi dengan masyarakat yang makin digital, interaksi yang makin elektronik.


Balik ke podcast. Asumsinya, podcast itu acara yang ada di any kind of digital media yang isinya ngobrol-ngobrol. Seru. Kebanyakan yang ditontoh, sih, para artis saling mengundang artis, lalu mengungkap romantisme kehidupan.


Kok, kangen, ya. Perbincangan daring itu terjadi pada diriku, walau tanpa bicara. Ketika menonton, semua perhatian tertuju pada perbincangan, padahal kita berada di ruang dan waktu yang berbeda. Kemudian, perbincangan itu mengingatkanku betapa dulu selalu diberikan rasa kagum atas romantisme kehidupan. Melihat kotak sampah yang terisi semenjak sore hingga malam, dari kosong menjadi penuh. Memerhatikan jalan setapak dengan jatuhnya daun kering tertiup angin. Menyebrangi jalanan menuju destinasi perjalanan hari itu.


Teman-teman yang dulu menjadi lawan diskusi, tempat mempertanyakan arti-arti kehidupan, akankah kita membuat hidup lebih bermakna?. Perbincangan yang dulu menguap begitu, saja. Perlahan kembali dan memberikan afirmasi atas eksistensi diri. Bukan sosok teman yang muncul, namun rasa yang menjadi pengingat.


I miss the conversation yang ngalar-ngidul.


Pekerjaanku saat ini, menguatkanku untuk berbicara dan berpikir secara sistematis. Kreativitas tetap harus dibawa untuk membawa daya tarik dalam pekerjaan. Otot tegang, relaksasi menjadi kebutuhan.


Mungkin ini yang membuat, kita tetap ingin menjadi muda. Ketika menjadi tua, konsekuensi yang diterima semua terkait dengan tanggung jawab. Apakah muda itu berarti tidak bertanggung jawab?


Telah mengecap asinnya kehidupan. Been there, done that. Mungkin, saja. Bisa jadi.


Aku sudah mulai menulis kembali, bukan menulis laporan pekerjaan. Menulis segala perdebatan yang terjadi di kepala. Sebagian. Pikiran lainnya menguap seiring aktivitas hari-hari penyita waktu.


Kamu, tetap sehat, ya.

Kita harus tetap sehat karena masa depan masih akan datang.

Komentar

Anonim mengatakan…
Definisi dan contoh sederhana dari romantisme kehidupan yang bikin makin bersyukur atas hal hal kecil yg terjadi di hidup, ga selalu ngoyo sm standard ideal org org tentang terms tertentu:'). Terimakasih mba, curhatan yg banyak dialami org tp jarang org yg nulis dlm bentuk blog:)
Dimas Dwi Santoso mengatakan…
"Menyusun Kebiasaan Baru" yang sebenarnya cenderung mengembalikan aktivitas seperti masa sebelum Covid-19 tetapi dengan mempertimbangkan celah dan logika kira-kira aman gak ya. Karena hampir semua orang yang saat ini ketemu (lagi) setelah vacum 1 tahun merindukan masa lalu dan baru menyadari bahwa kontak fisik/tatap buka/cengkrama jarak dekat adalah anugerah luar biasa ya mba. hehehheee

Postingan Populer