Petani Semakin Tua

Akhir pekan lalu, 11-12 Agustus 2018, saya mengikuti workshop dengan topik utama agraria. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Edelweiss Center for Sustainable Development (ECSD). Narasumber utama adalah Prof. Ben White, (pensiunan) dosen di International Institute of Social Studies, Netherland.

Pada tulisan ini, saya nggak mau menceritakan tentang dinamika workshop berlangsung atau diskusi apa saja yang terjadi. Lebih tertarik untuk mengeksplorasi buah pikiran gue sendiri yang (walau) diakibatkan oleh perdiskusian tersebut. Tentu saja, saya tidak memiliki data yang relevan atau argumentasi yang paling tepat, jadi kalau ada yang baca blog ini, tolong jangan dikutip, yah. Unreliable opinion.

Tantangan yang akan dihadapi (most participants agreed on this) adalah semakin sedikitnya pemuda (youth) yang mau/akan jadi petani. Keadaan saat ini menunjukkan bahwa petani semakin tua. Tua ini berarti secara fisik mereka (mungkin beberapa, lah, ya) tidak sekuat pemuda dan itu (lagi-lagi) mungkin mempengaruhi produktivitas.

Petani semakin tua. Apakah suatu hal yang baik atau buruk? Ataukah situasi tersebut mampu merefleksikan suatu hal? Pertanyaan lain yang paling sulit untuk saya jawab sendiri adalah apa tujuan dari perdebatan/pergerakan/perjuangan agraria ini? Kesejahteraan? Keadilan? (yang kata adil pun seringkali memiliki keberpihakan). Harap maklum, saya pendatang baru dalam isu ini.

Pak Ben juga bilang (kita semua juga bisa cek di sebaran data yang ada di internet, tinggal google) bahwa umur harapan hidup manusia sekarang makin tinggi. Manusia Indonesia semakin sehat. Petani juga walau tua, tetap sehat (harapan saya, sih, demikian).

Lalu, apa salahnya dengan petani makin tua? Sepintas terpikir, jangan-jangan dalam sektor pertanian, atau sepetak lahan tani memiliki daya serap maksimal. Sehingga, kalau yang tua belum pensiun dari lahan tadi, yang muda belum bisa masuk (bekerja). Maka, umur memasuki sektor pertanian di usia yang cukup matang.

Alternatif solusi yang kemudian terpikir, mungkin harus ada pekerjaan sela, sebelum mereka menjadi petani tetap (meminjam istilah pegawai tetap). Pemuda (youth) diskenariokan untuk memiliki pekerjaan sela atau yang tua diberikan pekerjaan pensiunan petani. Atau lebih pada model bisnis? Aktivitas bisnis yang berkenaan dengan sektor pertanian. Maka alternatif lain yang muncul menjadi (misal) wisata agraria, wisata panen padi, wisata petik buah, dsb. Besaran nilai tambah seringkali pertimbangan utama bagi pebisnis (petani).

Pernyataan Pak Ben, di lain kesempatan, kuliah umum 14 Agustus 2018 di FISIP Universitas Lampung, pertanian memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi. Pernyataan lainnya, kurang-lebih, dinyatakan modern ketika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Indonesia saat ini membutuhkan lowongan pekerjaan, mengurangi pengangguran. Mengapa tidak sektor pertanian dibuat daya serap maksimum? Ini buah pikiran yang menarik. Sebelumnya tidak terpikirkan. Secara umum ini mengartikan bahwa pemerintah patutnya memiliki kebijakan yang mendukung sektor pertanian dengan pertimbangan di antaranya: penyerapan tenaga kerja, ketahanan pangan, dan kemampuan produksi.

Ini beneran PR. Kalau saya dan rekan-rekan akan melakukan riset mengenai sektor agraria, saya pasti pusing sendiri dengan pikiran-pikiran ini. Belum lagi permasalahan lain yang belum saya sebut, seperti kepemilikan lahan, relasi antar anggota keluarga, pola reproduksi rumah tangga, sampai dengan kebijakan publik yang pro pertanian hingga tingkat internasional.

Ayo, jadi petani!

Komentar

Agung wahyu firdaus mengatakan…
punten kak,,
saya mau bertanya seputar jurnal yang kakak tulis dengan judul
AUGMENTED REALITY PELACAK LOKASI PUSTAKA
DENGAN AR MARKER
saya sudah menghubungi kakak di email

Postingan Populer