Pelajaran Menghargai
"Ketika
mereka merasa terluka, mereka menangis dan pergi jauh dari kita.".
Padahal
setiap luka akan sembuh. Sesakit apapun luka itu, tubuh ini akan berusaha untuk
sembuh, kembali pulih seperti senantiasa. Mungkin justru itu yang ktia
perlukan, terluka dan penyembuhan.
Bukan
sesungguhnya tentang luka berdarah. Tentang hati yang terluka, mudah tersakiti
oleh ilusi. Ilusi yang berhasil membentuk perspektif melukai pada perasaan
kita. Apakah artinya pikiran kita begitu kejam hingga kita mampu membuat diri
kita sendiri terluka?
Pikiran kita membentuk suatu imajinasi, suatu gambaran dengan deskripsi yang terasa begitu nyata. Kadang kita terlupa bahwa kita memenangkan rasa dan lupa melibatkan daya pikir yang berlogika. Kita dikalahkan rasa.
Bagi
sebagian besar orang, keinginan untuk menjadi lebih baik itu selalu ada. Entah
apapun itu. Alasan apapun itu. Akupun demikian, berusaha untuk lebih baik. Ketika
SMP, aku diajarkan berteman baik dengan banyak orang oleh sahabatku. Lalu, aku
tidak bisa selamanya bergantung bersamanya untuk menjadi "orang" yang
kumau. Aku harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih baik.
Ternyata,
setelah berbagai kisah, persahabatan dan pertentangan yang aku alami. Kunci
utama yang harus kita lakukan adalah menghargai orang lain. Dengan penuh
pengharapan, mereka juga akan menghargai diri ini.
Seperti
keponakanku yang menyukai warna merah. Tentu saja kalau ingin membuat dia
bahagia, belikanlah dia baju berwarna merah. Kalau kita paksa dia untuk memakai
hijau, yang adalah warna kesukaan kita, pastilah akan ada konflik yang terjadi.
Konflik
memang sesuatu yang mungkin terjadi dan kadang kala tidak bisa kita hindari.
Aku hanya bisa berusaha untuk meredamnya atau membuat konflik tidak
berkepanjangan. Bukankah tiap dari kita memang individu yang berbeda?
Pertanyaan
yang patut kita pertanyakan pada diri kita adalah "Seberapa mampu kita
memaksa diri kita untuk menghargai orang lain, tanpa syarat. Menerima mereka
apa adanya.".
Aku
bisa membayangkan aku ketika di awal umur 20 tahun. Darah masih mendidih.
Pemudi yang merasa dan berpikir bahwa dia akan melakukan yang terbaik dan
perubahan di dunia ini. Penuh harapan yang luar biasa. Mampu menyatakan bahwa
yang lain itu salah, dan yang benar selayaknya yang diinginkan. Menolak
diperintah. Memiliki keinginan sendiri.
Ternyata
tidak. Harapan memang selalu ada. Namun, pelajaran tentang hidup ditemukan pada
dua hal; buku yang dituliskan dan buku yang dibukakan halamannya oleh alam
semesta. Membuatku
sadar. Orang tua (dan orang yang lebih tua) adalah mereka yang telah membaca
buku kehidupan lebih dulu dan lebih banyak. Untuk itu, mereka patut kita
hargai. Atas segala keberhasilan yang telah tercapai dalam hidupnya, adalah inspirasi
bagi yang muda. Akupun berusaha bernegosiasi dengan diriku sendiri agar menjalani waktu dengan lebih baik.
Apakah
kita masih akan terdiam, menangisi luka, dan pergi dari yang sejati? Akankah
kita mengecap dan mewarnai hidup ini dengan penuh warna, warna hitam sekalipun? Beranikah kita menjadikan semua tempat adalah tempat ternyaman?
Komentar