Kesadaran Diri

Sebagai orang yang sudah lama tidak mengisi tulisan di blognya sendiri, mencari hal yang ingin dikomentari itu sangat sulit. Pada kehidupan sehari-hari, banyak sekali yang dikomentari. Tentang tukang sayur yang tidak memberikan uang kembali, tukang sampah yang tidak kunjung lewat, atau kenapa pemerintah daerah tampak seperti angin lalu begitu saja.

Bercerita dan berbagi itu bukan suatu hal yang mudah. Memilahnya agar pihak yang mungkin tersinggung tanpa sengaja begitu minim. Membuat tulisan ini menjadi bagian dari sadar yang membaca. Mungkin sekarang tidak lagi menjadi pilihan untuk membaca blog curahan hati semacam ini. Entahlah. Dimanapun kamu, saya, atau bahkan kita berada, jarak kita hanya sejauh satu tekan pada layar telepon atau tombol kiri pada tetikus.

Interaksi kita sekarang sederhana, follow atau unfollow, add friend atau unfriend, accept atau  ignore. Kita pun memiliki begitu banyak pilihan komunikasi. Bertemu langsung, berbincang melalui telepon, kirim pesan via teks atau ragam aplikasi yang ada di telepon genggam. Melihat info kontak di Twitter yang dilanjutkan via SMS untuk menanyakan pin BBM, yang ternyata setelah menyimpan nomor telepon kontaknya muncul di whatssapp dan LINE. Karena juga terhubung dengan facebook, ketika masuk instagram muncul beberapa kontak sebagai rekomendasi. Lalu, apa yang menjadi pilihan kita?

Saya sebagai pedagang kue, tidak masalah apapun yang dipilih. Asal hal tersebut memberikan pemasukan yang signifikan. Ya, kan?

Saya rasa, saya pun kelelahan akan segala media sosial yang mendunia ini. Tidak afdol kalau kita juga tidak punya akun Path, yang terpaksa mengunduh Talk Path karena, sebut saja Mawar (nama samaran), berkata, "Gue chat di TalkPath, ya dear". Atas dasar ke-kepo-an saya, sayapun patut mengunduhnya.

Terasa begitu disita perhatian oleh media sosial.

Bukankah memang itu yang kita butuhkan? Seberapa banyak love yang kita dapatkan ketika mengunggah hal. Seberapa panjang perbincangan terhadap hal yang kita unggah. Semua itu karena  kebutuhan manusia: pengakuan.

Ke-aku-an itu yang dulu bahkan membuat saya berpikir keras, bahkan belum bisa menemukan jawaban yang patut hingga sekarang. Siapa aku? Mempertanyakan diri sendiri atas nyatanya keberadaan diri dan apakah benar atas apa yang kita jawab atas pertanyaan itu sendiri. Lalu, temukanlah alasan kenapa diri ini hidup di dunia.

Era sosial media sekarang mungkin mampu merubah itu. "Ini aku.". Ketika foto selfie menjadi keharusan. Menemukan sudut atau sisi terbaik untuk pose berkali-kali membutuhkan keahlian khusus. Ini menjadi cara menemukan jati diri. Menyatakan ada kepada orang lain, kepada dunia. "Kamu love, maka aku ada" atau "Kamu komentar, maka aku ada". Logika sederhana dari "Saya ada karena kamu ada.".

Apapun bentuk interaksi dan sebagainya. Wajar, saja. Bukan berarti saya tidak setuju dengan kegilaan media sosial yang berterbangan di udara tanpa terlihat (perpindahan data dari satu alat ke alat lain yang tidak tersambung kabel, memang tak tampak, kan?). Saya pun menjadi korban. Mungkin korban terlalu kasar. Saya pun menjadi pengguna segala aplikasi tersebut. Dengan sadar bahwa pihak manapun mampu menggunakan segala informasi yang kita unggah atau secara otomatis perangkat telekomunikasi kita mengunggahnya. Entah menguntungkan atau merugikan.

Sadarkah kita atas segala yang kita unggah di dunia maya? Sadarkah kita sudah menelanjangi diri melalui informasi yang begitu terbuka? Hanya melalui satu tekan. Mampukah sadar kita membawa kebermanfaatan yang lebih atas perkembangan teknologi informasi yang pesat ini?


Sadarkah kita, ketika ada kabar pembunuhan di suatu tempat, dan yang kita nyatakan adalah "Ada fotonya?". Seketika itupun etika kita runtuh. Sadarkah?

Komentar

Postingan Populer