Wabah Ulat Berbulu

Wabah ulat bulu yang diangkat oleh media dan senyatanya memang terjadi, menggemparkan. Pertama muncul di Probolinggo, Jawa Timur. Bermunculan juga di Madiun, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, bahkan pagi tadi koran lokal Lampung menyatakan wabah ulat bulu di Kalianda, Lampung Selatan. Tampak ulat bulu berhasil memalingkan perhatian sebagian orang tentang keberadaan mereka.

Karena bersama keluarga, aku terbiasa dengan kupu-kupu. Kupu-kupu adalah spesies yang kita ketahui mengalami proses metamorfosis sempurna. Kalau telur kita tentukan sebagai titik fase pertama. Maka selanjutnya adalah ulat, kepompong, dan kupu-kupu dewasa. Sejauh yang kutahu, ulat yang kemudian bermetamorfosis menjadi kupu-kupu adalah ulat yang tidak berbulu. Jadi, kalau banyak pendapat yang menyatakan ulat berbulu itu akan menjadi kupu-kupu. Itu membutuhkan bukti.

Kalau dia tidak menjadi kupu-kupu, lalu menjadi apa, dong? Itu yang perlu kita ketahui. Sebetulnya dia menjadi apa? Fase ulat adalah fase yang umum dialami oleh kebanyakan serangga. Ulat di dalam buah kan tidak menjadi kupu-kupu, dia menjadi lalat buah. Lebih jelasnya, memang harus bertanya pada entomolog atau biolog.

Dulu, sering berbincang dengan mama tentang ulat, kupu-kupu, dan hama. Apakah kupu-kupu itu hama? Mamaku bilang, "Sesuatu yang berlebihan itu selalu menjadi hama. Itupun tergantung perspektif. Biasanya, orang pertanian mengutamakan produktivitas. Kalau ada yang menganggu produktivitasnya, itu dianggap hama" Perbincangan berikutnya dilanjutkan dengan keseimbangan ekosistem.

Sebelum terlalu jauh bincang sana-sini. Melihat berita ulat bulu, mengingatkan pada film X-Files, dalam film itu belalang menjadi senjata biologis. Bagiku, wabah ulat bulu ini seperti dengan wabah belalang. Ada sesuatu yang tidak beres di dalam ekosistem. Ada jumlah yang berlebihan. Sesuatu yang berlebihan itu tidak pernah menjadi hal yang baik.

Seperti yang kita pelajari di pendidikan formal, rantai makanan dan piramida makanan diajarkan pada bab yang sama. Kalau kita melihat ada populasi yang berlebihan, maka berarti predator bagi populasi tersebut tidak seimbang. Untuk ulat, predatornya mungkin saja burung. Jadi, bisa saja populasi burung sudah menurun, sehingga pengontrol populasi biologis juga telah terancam karena orang lebih memilih burung berada dalam sangkar dan memakan apa yang disediakan oleh pemeliharanya. Harusnya orang lebih panik membahas, kemana perginya predator ulat bulu ini. Bisa saja predator biologis adalah jawaban utamanya.

Aku pun bertanya pada mama tentang wabah ulat bulu ini. Dengan sederhana dia menjawab, "Kalau berlebihan, tinggal disemprot atau apa. Itu kan siklus. Nanti juga kembali normal". Sederhana saja. Tidak berlebihan.

Ada artikel, entah di media mana, menyatakan bahwa wabah ulat ini menyebabkan mangga tidak produksi. Jadi penasaran, apakah itu benar berkorelasi lurus. Kalau kita biasa dikelilingi pohon, pasti kita juga tahu, kalau pohon itu kita pangkas habis daunnya, maka akan muncul daun-daun muda. Mamaku sering melakukannya kalau tanaman kena penyakit daunnya. Tapi entah, apakah itu mempengaruhi buah si pohon. Kalau men-setek, dianjurkan untuk mengurangi jumlah daun secara drastis, supaya tanaman berkonsentrasi pada penumbuhan akar. Setahuku, ada tanaman yang memerlukan stimulan agar dia berbuah. Terserah narasumber dan reporter media massa menyampaikan berita. Semoga tidak memberikan wawasan yang salah.

Kalau wabah ulat bulu ini dapat mendorong Pulau Jawa sebagai pulau serangga Indonesia, kenapa tidak? Justru itu semakin menunjukkan kalau Indonesia mendukung pelestarian lingkungan. Atau mungkin populasi ulat di Jawa sama dengan populasi manusia-nya. Sama-sama banyak.

Komentar

Anonim mengatakan…
Setahu saya ulat bulu itu ber-metamorfosis menjadi ngengat (CMIIW). Teman saya yg seorang biolog juga menjelaskan persis sama dengan mama anda, wabah ini terjadi karena pincangnya ekosistem di daerah itu, sehingga rantai makanan tidak berjalan sempurna dan muncul ketidakseimbangan alam...

Hmm, andaikan yg muncul wabah tikus pasti akan lebih seru.... ^__^
Gita P Djausal mengatakan…
Saya terpaksa serius nih menanggapinya.

Ini repotnya kalau kita bicara secara umum (generalisasi). Kadang sulit untuk dipertanggungjawabkan. Beberapa species bisa diperlakukan sama, tapi sebagian sangat spesifik.

Karena saya juga tidak memiliki kemampuan yang dapat diakui mengenai klasifikasi dan identifikasi ngengat/kupu-kupu. Saya memilih membuka salah satu buku yang tergeletak di rumah.

Buku ini bukan ensiklopedia kupu-kupu & ngengat tapi cukup memberi pengenalan. Jadi, para ngenat ini, ketika fase ulat, memang ada yang berbulu tapi tidak semua. Ada juga yang ulat ngengat yang permukaan kulitnya halus. Beberapa yang ada di buku, warna ulatnya lebih terang dan berwarna. Tampaknya juga lebih gendut. Mungkin karena badan ngengat memang lebih gendut dan berbulu untuk mengimbangi dirinya yang nokturnal.

Kalau wabah tikus pasti TIDAK SERU sama sekali. Tikus itu bisa membawa wabah penyakit loh! Menyeramkan! Nanti bisa terulang adegan film Seven yang manusia digigitin tikus. Scary!

Postingan Populer