Kunjungan Teman

Yang datang berkunjung adalah teman papa mama aku yang mereka kenal sejak di bangku kuliah. Mereka adalah suami istri yang tinggal di Yogyakarta. Pengikat memori pertemanan mereka adalah Pondok Pesantren Pabelan. Kadang kalau papa mama sedang berbagi cerita tentang teman lama mereka, salah satu yang menjadi titik tolak bentuk interaksi dalam pertemanan mereka.

Dulu, papa mama pernah cerita kalau awal tahun 1980-an, papa pergi ke Pabelan. Dia membangun sistem air bersih untuk pondok pesantren bersama teman-temannya. Itu bukan hanya sekedar membangun instalasi air tapi membangun pemahaman atas kebutuhan dasar manusia. Kebersihan. Saya tidak pernah ikut pondok pesantren. Kalau dibayangkan dalam satu sekolah negeri, paling tidak ada 300 orang. Maka, di waktu yang bersamaan, kami mengakses air untuk melancarkan aktivitas rutin sekolah. Dijadikan contoh, mengambil wudhu sebelum shalat wajib. Ada hikmahnya sunah membasuh sebanyak 3 kali, supaya kita tidak boros dalam membersihkan diri. Kalau 10 kali membilas, entah jadi berapa liter yang kita perlukan. Berapapun jumlah air yang diperlukan untuk membersihkan diri dari najis kecil, dikalikan 300 orang. Intinya, permasalahan air itu bukan mainan, itu adalah masalah serius.

Cerita itu disudahi dulu. Pertemuan kali ini memiliki sekian banyak perbincangan. Dari sekian itu, ada satu hal yang mencuri perhatian saya. Ketika dia menceritakan Gunung Merapi beraksi. Pemberitaan dan pencitraan media massa membuat saya berpikir bahwa hanya teror yang disebarkan oleh aksi Gunung Merapi. Menyeramkan berada di sekitar wilayah itu.

Sang istri, dengan kekagumannya, menceritakan bahwa Gunung Merapi itu gagah. Dia mengilustrasikan dengan gemuruh yang terdengar menunjukkan kekuatan. Nyala laharnya ketika malam bagaikan selendang merah yang diturunkan dari langit, menyala dan menarik perhatian semua orang.

Pernyataannya itu bagaikan suatu rasa kagum atas fenomena alam yang terjadi di alam secara alami. Memahami alam sebagai alamnya. Bukan sebagai obyek manusia. Sederhana saja, tidak ada yang dilebihkan.

Aku jadi tersadar bahwa banyak sekali yang terjadi secara alami di sekeliling. Tiap kejadian memiliki keajaibannya sendiri. Seperti ketika kita melihat senyum yang mengembang di bibir keponakan kecil. Saat seseorang tertawa dan matanya menyipit. Ketika ulat perlahan mengeras dan membentuk kepompong. Melihat kue yang perlahan mengembang karena panasnya oven pun memberi kenikmatan yang menyenangkan.

Lalu dia bercerita kalau debu merapi yang ada di rumahnya dengan cepat disapu oleh hujan yang turun. Tidak menjadi masalah yang berat. Alam memiliki mekanisme sendiri dalam menangani masalah setelah konflik. Bukankah itu keajaiban?

Kita memang harus lebih peka. Lebih sadar atas apa yang terjadi. Santai saja, tidak perlu berlebihan. Semua pada batas kewajaran penuh misteri dan keajaiban. Semoga kita tidak perlu debu vulkanis untuk menyadari hal itu.

Komentar

Postingan Populer