April Penuh Kebaya

Seketika teringat sebentar lagi 21 April, Hari Kartini. Sebetulnya karena melihat twitter teman yang bilang kalau kantornya menganjurkan dengan sangat (alias memerintahkan) untuk memakai kebaya pada tanggal 21 April nanti. Kenapa harus pakai kebaya? Tampak R. A. Kartini menjadi ikon kebaya.

Dulu, saya pernah keliling kampus dengan kebaya putih dan rok batik. Itu dilakukan dalam rangka membantu publikasi acara kampus yang bertemakan budaya. Saya lupa nama acaranya. Padahal waktu itu aku berada dalam divisi dekorasi. Demi kesuksesan acara, saya dengan hati membantu. Kebetulan ketika itu rasa malu saya sedang berlibur dan memiliki kebutuhan variasi kesenangan dalam kampus. Entah ini juga terekam dalam ingatan teman-teman yang lain. Ingatan yang tidak dipastikan adalah apakah itu saya pakai ketika Hari Kartini.

Tulisan tentang R. A. Kartini yang pernah saya baca adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer (alm). Kalau saya tidak salah, R. A. Kartini adalah tokoh yang diidolakan oleh Pram. Karena saya suka karya Pram, jadi saya harus membaca tulisannya tentang idolanya. Memang banyak literatur yang menceritakan tentang sosok Kartini, belum sempat saja membacanya.

Kisahnya saya baca ketika saya juga sedang membaca buku tentang feminisme. Ini memperkuat kerangka pemikiran mengenai keberadaan emansipasi wanita.

Semua itu membuat saya mengambil kesimpulan pemikiran yang dipegang oleh R. A. Kartini adalah sederhana. Sepatutnya kita menghargai manusia selayaknya manusia itu sendiri. Itu yang dicerminkan pada dirinya. Dia melakukan apapun yang bagi dirinya memanusiakan dirinya.

Bertahun-tahun lamanya, setiap 21 April, kita menyebut namanya Kartini. Hanya Kartini, tanpa gelarnya. Mengapa demikian? Dengan kebutaan saya terhadap keadaan sosial ketika itu. Mungkin sulit melepaskan hal yang melekat pada diri. Peran sosial yang kita emban akan selalu dilihat secara bersamaan dan hal itu mengaburkan adanya seseorang sepenuhnya. Oleh karena itu, dia membutuhkan Panggil Saya Kartini. Dia membutuhkan pengakuan akan eksistensinya.

Kalau yang terjadi sekarang, teman kita mudah saja melihat siapa diri kita. Sewaktu-waktu dia melihat kita sebagai anak dari keluarga (misalnya) terpandang. Tapi hal itu tidak menyulitkan dia untuk mengetahui bahwa selayaknya manusia, masih ada pergulatan tentang romantika atau apa saja lah.

Kenapa Kartini harus menjadi tokoh? Karena dengan kondisi yang ketika itu tidak adil bagi perempuan, dia dapat melakukan apa yang sewajarnya dia dapatkan. Dia menunjukkan semangat untuk memperoleh kesempatan berkembang sebagai manusia. Status sosialnya sebagai bagian dari keluarga terpandang memungkinkan dia memperoleh sumber bacaan terbaik dan teman-teman diskusi atau berkorespodensi. Dia memiliki akses yang tidak dimiliki orang awam dan itu dia manfaatkan dengan baik. Selebihnya, dia menjalni kehidupan seperti orang pada umumnya.

Haruskah emansipasi terus berjalan di dalam era yang penuh modernitas ini? Bagi saya, ini bukan sekedar perjuangan perempuan mendapatkan persamaan. Ini merupakan perjuangan manusia Indonesia demi kebaikan. Orang cacat juga memiliki hak. Belum lagi anak-anak yang terlantar. Perempuan, hanyalah satu titik dari rentetan perjuangan yang terus patut diperjuangkan. Laki-laki juga memiliki hak. Semua orang memiliki hak. Jangan biarkan orang lain merebut yang merupakan bukan haknya.

Kebaya hanyalah baju tradisional Indonesia. Penampilan fisik mempermudah orang untuk melihat semangat yang kita miliki di dalam diri. Membuat sesuatu yang abstrak menjadi hal artefak (fisik), maka kebaya adalah salah satu caranya. Yang penting, kita tahu alasan kita menggunakan kebaya di Hari Kartini. Bukan sekedar mengikuti yang orang lain ikuti tapi juga atas semangat perjuangan Kartini.

Hargai diri kita dan alam semesta!

Komentar

Postingan Populer