Tulisan Tentang Teman

Seorang teman pernah bertanya,
"Kok aku ga dibuatin tulisan juga sih?"


Aku kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Bukan karena tidak ingin atau tidak mampu. Hanya saja, hal tersebut tampak sulit untuk langsung dilakukan tanpa kesadaran penuh. Memang pernah menceritakan tentang si Pit, teman saya.

Kedekatanku dengannya membuat itu menjadi sulit. Membuat jarak dengan menjadi seorang penulis kisah adalah hal yang berat. Sempat juga terlintas, apa karena pribadi dia tidak menarik di dalam tulisan? Rasanya tidak benar. Dia salah satu teman yang aku kenal dengan baik.

Dia adalah penyuka makan. Entah kenapa kalau ditawari kue bolu, selalu saja ditolaknya. Mencoba pun tampak enggan. Perutnya pernah mulai membuncit dan tampak tambun. Kalau soal es krim -tanpa maksud menjadi agen promosi merek bersangkutan dan melakukan black campaign-, dia lebih suka keluaran Walls. Alasan utamanya adalah komposisi susunya lebih tinggi, katanya. Tapi kalau menurutku karena beberapa waktu kehidupannya banyak dibiayai oleh hasil kerja orang tuanya di Unilever.

Kesukaannya pada makanan ini diwujudkan dalam karya fotografinya. Mungkin lebih tepat bibit karya foto essainya yang masih belum rampung juga karena dia ketika itu mengganti subyeknya. Sulit sekali dia untuk menahan godaan. Jika di dompet atau kantongnya terdapat uang dan banyak sekali tukang yang berjualan makanan, entah apa kandungan di dalamnya, dia akan segera menghampiri untuk menikmati makanan jajan pinggir jalan dengan warna yang mencurigakan dan tersenyum bahagia. Kebahagiaanya sesaat saja karena dia baru sadar kalau uangnya sudah habis dan dia tidak bisa membeli apapun lagi.

Hampir menjadi orang yang paling keras kepala yang kukenal. Untungnya, ada yang lebih keras kepala dari dia, sepupuku sendiri. Punya teori tentang hidup adalah suatu lingkaran. Pembuktian awalnya dimulai dengan bentuk telapak tangan yang (hampir) lingkaran. Dilanjutkan dengan bentuk sempurna lainnya yang menyerupai lingkaran. Angka delalapan (8) menjadi angka favorit dia karena dapat dibentuk dengan garis tanpa putus.

Aku dan temanku yang lain kadang bingung dengan teori-teorinya. Akhirnya, kami menjadi orang jahil. Kami berdiskusi tentang hidup itu adalah lingkaran. Seingat saya, asumsi dia terpatahkan. Entah apa alasan yang kami berdua gunakan, aku sulit untuk mengingatnya. Berharap dia akan memandang kehidupan dari segi yang berbeda. Ternyata, tidak. Dia hanya menyembunyikannya dari kami.

Itu salah satu yang menjadikan bukti bahwa dia seorang yang keras kepala. Seringkali kalau terlibat dalam suatu diskusi, pada awalnya dia akan menyampaikan pandangannya dengan bebas. Biasanya kalau dalam diskusi, akan menghasilkan suatu sintesis yang baru. Itu akan sangat jarang terjadi pada dirinya. Apa yang menjadi hipotesis awal, baginya, juga akan menjadi sintesis diskusi. Seakan-akan diskusi sia-sia.

Itu dulu. Sekarang? Ke-keras kepala-annya mulai melunak. Di beberapa hal dia masih mau melakukan kompromi dengan lingkungannya. Namun, dalam hal lain, entah sampai kapan dia berdiri sendiri. Tidak ada salahnya jika kita memang menginginkan atau berpegang teguh atas hal. Masing-masing dari kita sudah sepatutnya menghargai perbedaan pendapat. Kita harus bijak dalam menentukan mana yang harus tetap ada dan mana yang harus menjalani adaptasi dalam kehidupan ini.

Mungkin aku belum kenal betul. Mungkin hanya sulit untuk menjabarkannya dalam kata-kata. Mungkin aku memiliki resistensi lain. Mungkin. Yang pasti, tidak terbantahkan bahwa dia adalah salah satu teman terbaik.

Komentar

Postingan Populer