Sarkasme Gita

Segelas es teh tarik diantar oleh pelayan. Diletakkannya di atas meja, selepasnya pergi, langsung kuseruput. Terlalu manis. Bukan rasa yang tepat untuk lidahku.
"Terlalu manis", ujarku.
"Sarkastik Gita", balas temanku

Tertegun sesaat. Sayangnya, itu memang benar. Aku seringkali otomatis berkata spontan yang terdengar sarkastik bagi orang lain. Tak pernah bermaksud untuk menyakiti perasaan orang lain tapi itulah yang terjadi.

Perlahan seiring waktu berlalu, aku berusaha merubahnya. Kepada orang yang baru dalam kehidupanku, aku lebih berhati-hati dalam bersikap. Layaknya seorang manusia sosial Indonesia, aku masih mempertimbangkan pandangan orang lain pada diriku. Entahlah. Kadang terasa lebih baik untuk kita menutup mata atas semua itu. Kadang juga teringat bahwa kita membutuhkan sumbangsih pikiran untuk kita mengevaluasi diri kita.

Setelah temanku mencoba, minuman itu memang terasa terlalu manis, terlalu banyak susu kental manis. Selalu ada sesuatu dibalik sesuatu, sampai kita bertemu pada intinya maka akan berhenti lapisan pembungkus. Temanku memilih berkata lebih dulu sebelum mencoba minuman itu.

Maka, itu adalah salah satu kejadian dimana kata tiap orang bisa berarti lebih bagiku.

Dulu, aku pernah foto bersama teman-teman setelah mengadakan acara. Kita semua bersepakat untuk memakai baju panitia dan bertemu di studio foto. Berpose beberapa kali dan kita harus memilih beberapa dari sekitan frame foto yang diambil oleh fotografer. Ketika memilih, aku tidak memilih foto yang diinginkan salah satu temanku.
"Kenapa ga yang ini aja? Di sini semua menunjukkan kepribadiannya. Gita di sini kan tampak seperti diktator.", katanya.
Tanpa menginginkan perdebatan berkepanjangan, aku membayar biaya untuk penambahan pilihan foto.

Malam itu, kata "diktator" menjadi buah pikiran tiada henti. Separah itukah? Diktatorkah aku? Masih kurang mampu aku melemahkan egoisme dalam diri? Membuatku menangis. Kalau memang aku diktator yang tidak menguntungkan berarti ada eksistensi temanku yang tidak aku akui dalam proses persiapan acara. Sungguh menyedihkan.

Keesokan harinya, aku mendatangi dirinya dan bertanya tentang kediktatoran itu. Nyatakah terjadi? Aku lupa perbincangan yang terjadi dengannya. Toh, yang terpenting, aku dan dia sampai sekarang masih berteman. Dia tetap menjadi teman terbaikku. Aku merindukannya.

Terserah mau dibilang apa. Sarkastik atau diktator. Selama aku masih menjadi diriku sendiri dan semua bisa menjelaskan apa yang mereka nyatakan, tidak akan ada masalah besar. Hanya Tuhan Maha Tahu.

Komentar

Postingan Populer