Pemecah Kebosanan

Saya cenderung apatis.

Mungkin banyak teman saya tidak setuju dengan pernyataan saya. Suara saya lebih sering terdengar lantang dan menggema (khususnya ketika saya masih di SMA). Kalau berbincang dengan teman, seringkali saya tampak berapi-api. Mungkin karena elemen zodiak saya adalah api. Entah berkaitan apa tidak, belum pernah ada penyelidikan lebih lanjut untuk merujuk pada hipotesis dan menghasilkan sintesis bertanggung jawab. Itu sepertinya bukan sikap yang apatis.

Kalau sedang berkendaraan, saya akan mengomentari banyak hal. Lebih sering, pengendara bodoh yang tidak mengerti apa fungsi toleransi dalam penggunaan jalan umum dan fungsi rem pada roda kendaraannya. Untungnya, mobil keluarga saya super sederhana (kalau sederhana sungguhan, harusnya tidak ada tambahan 'super'). Tidak ada radio penghibur suasana hati. Jarang sekali ada aroma tambahan untuk meningkatkan konsentrasi. Yang kadang saya sesalkan, kenapa di mobil itu tidak ada pengeras suara. Percuma saja kalau saya berpendapat tapi yang seharusnya mendengar tidak dapat mengetahuinya.

Ya. Saya apatis. Itu yang kadang bikin saya mudah kesal. Kehilangan semangat dan tenaga untuk melakukan sesuatu. Berpikir mengenai segala kemungkinan yang bisa dilakukan. Tetap saja. Kehilangan daya.

Toh. Semuanya tetap harus dilakukan. Cepat atau lambat. Apapun itu tetap harus diputuskan.

Orang suka bilang, berdoalah kepada Tuhan. Saya sulit menerima pemikiran itu. Bukan berarti saya menolak konsep Tuhan dalam hidup. Hanya saja, saya belum mampu melakukan berdoa dan meminta di kala senang dan duka. Kalau hanya teringat untuk berdoa atau berdoa secara khusus ketika ditimpa kedukaan, rasanya tidak adil. Kadang, saya anggap hal duniawi harus diselesaikan secara duniawi. Apa yang terkait dengan Tuhan, maka itu harus dengan penuh kerelaan dan berserah diri.

Saya bosan merasa apatis tapi masih belum bisa penuh ambisi. Butuh pertolongan.

Komentar

Postingan Populer