Pikiranku Berputar
Kadang merasa terjebak dalam rutinitas. Berkeinginan untuk melakukan perubahan dalam hari esok begitu tinggi. Namun, yang terjadi adalah kekurangan daya dan usaha untuk mencapai apa yang diinginkan.
Contoh yang jelas, seperti menulis Cerita dari Annapurna. Tidak juga terselesaikan dalam satu hari. Tiga atau empat hari diperlukan menyelesaikannya sampai tulisan dipublikasikan. Menulis pandangan dan menceritakan ulang buku itu adalah kemauanku sendiri. Itu pun tak segera terselesaikan. Memang wajar saja. Namanya juga manusia, penuh cela atas kesempurnaan.
Sudah sepanjang itu tertulis, masih saja terasa kurang. Ada beberapa titik yang masih hendak dimasukkan. Kalau itu juga dimasukkan, bisa menjadi tulisan yang terlalu panjang. Karena kebosananku, sebagian tidak dijabarkan karena sudah terwakili. Mohon maaf kalau ada teman-teman yang membaca Cerita dari Annapurna merasa bosan. Tulisan itu memang lebih panjang dari biasa yang kutulis.
Menuliskannya pun berpindah-pindah tempat. Kebanyakan dilakukan di dalam kamar. Sempat juga ketika aku menemani orang tua ke Taman Kupu-Kupu Gita Persada. Walau hanya satu paragraf, yang penting ada yang ditambahkan.
Belum selesai juga menulis. Aku berpindah membaca buku yang baru di beli ketika menghampiri toko buku independen, Tobucil, di Bandung. Mungkin beberapa minggu ke depan akan dibahas.
Oh. Jadi teringat. Ketika di sela-sela hari penulisan Cerita dari Annapurna, aku berpikir, 'Kenapa harus repot menulis blog dengan rapi ya?'. Dan jawabannya adalah aku membutuhkan suatu kebiasaan untuk memiliki sistem berpikir yang runut dan menyampaikan suatu ide atau pemikiran secara jelas. Sehingga, orang lain dapat lebih mudah memahami apa yang kupikirkan. Bagiku, ambiguitas itu menyebalkan. Daripada menerka-nerka apa yang dipikirkan oleh seseorang, lebih baik diperjelas saja. Semoga itu dapat mengurangi konflik yang mungkin terjadi.
Alasan tambahan, konsistensi. Memiliki konsistensi gaya bahasa, menurutku juga perlu. Bukan gaya bahasa dalam keseluruhan blog. Cukup per tulisan saja. Dulu, ketika bekerja di majalah, bos pernah bilang, "Kamu terlalu sering pakai kata ganti kedua". Tanpa sadar, aku kadang memeriksa ulang tulisan. Apakah aku masih melakukan kesalahan yang sama?
Pastinya, ini merupakan salah satu wadahku untuk melatih Bahasa Indonesia. Aku masih menganggap berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah tantangan yang tersulit.
Komentar
Benar sekali, jadi jelas rasanya kenapa harus menulis dengan baik.