Di Antara Lukman Sardi

Minggu kemarin adalah minggunya Film Indonesia. Dua diantaranya yang saya tonton adalah Darah Garuda dan Sang Pencerah. Kesamaan kedua film ini adalah Lukman Sardi.


Kalau mau berpendapat sinis,
'Indonesia ini memang kekurangan aktor yah! Padahal penduduknya ratusan juta jiwa! Dimana yang lain?'
Selanjutnya, saya mau berpendapat lain tentang film yang saya tonton.


Awalnya saya pikir Darah Garuda akan rilis pada bulan Agustus, seperti janji para pembuat filmnya. Mereka ingin menjadikan film ini pembakar semangat nasionalisme. Antusiasme saya di bulan Agustus mencari tahu tentang sekuel Merah Putih. Saya ingat, ketika keluar dari bioskop setelah menonton Merah Putih, ingin sekali ikut memekikkan 'Merdeka!' Mungkin ada hal-hal lain yang menyebabkan Darah Garuda rilis di bulan September.


Diawali dengan perjalanan mereka menuju entah berantah. Pergulatan emosi Senja, mulai diangkat. Kegoyahan pertama ketika dia harus memetik buah kopi yang masih hijau, "Apakah ini yang harus dilakukan oleh keluarga terpandang?" Tidak lama dari itu, dengan seenaknya penjajah melampiaskan hawa nafsu dengan pribumi. Kenasionalismeannya dipertanyakan olehnya sendiri, ketika keluarganya diluluh lantakkan oleh pribumi juga. Akhirnya, toh, dia tetap memilih ikut berperang.


Tapi senja bukan tokoh yang menonjol. Saya memperhatikannya karena di Merah Putih I, sang pembuat film menyatakan bahwa Senja akan banyak berperan dalam film Darah Garuda. Perannya di film ini tidak kentara. Yang saat ini mau ditunjukkan adalah mereka ini adalah sekelompok orang hebat yang memiliki misi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sampai titik darah penghabisan, menyerang titik terlemah Belanda.


Kapten Amir sempat berdiri di tengah lapangan tanpa tertembak sedikit pun. Dayan tak ingin berkata apapun sampai kehilangan lidah. Tomas berlari di atas sayap pesawat tanpa terluka, hanya berlumuran darah tanpa luka bakar. Marius mengumpat, bersembunyi, namun tetap saja selamt. Alih-alih mereka menembak bajingan Belanda, mereka hanya meneriakkan semangat kepada temannya yang sulit berjalan dan akhirnya tertembak Belanda.


Saya bingung. Kenapa ketika keluar dari studio itu, hati ini tidak menggelegar ya? Rasa untuk memerdekakan Indonesia semacam tak tersentuh? Ini salah saya. Saya terlalu berekspektasi ketika menonton.


Selang dua hari, saya menonton Sang Pencerah bersama adik dan kedua orang tua saya. Lagi-lagi, sosok Lukman Sardi muncul. Dia memerankan KH. Ahmad Dahlan.


Menonton Sang Pencerah terasa lebih menghibur. Sebelumnya, saya pernah menonton film karya Hanung Bramantyo. Takutnya, lokasi di daerah Jawa tapi logat pemerannya masih kental dengan tanah kelahiran (bukan Jawa). Atau, terlalu menggumbar ekspresi muka para pemeran. Sekarang lebih baik.


Perbincangan dalam bahasa Jawa cukup kental mewarnai film. Sosok KH. Ahmad Dahlan dengan baik diperankan, menunjukkan bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah seseorang yang patut kita jadikan tauladan. Slamet Raharjo dengan menyenangkannya tepat melakukan oposisi dengan keberadaan KH. Ahmad Dahlan. Dengan indahnya, sebuah adegan menggambarkan bahwa kita semua adalah manusia yang kadang membiarkan ego-nya merajai hati dan pikiran.


Bagi saya, beberapa ekspresi pemain dibuat seperti layaknya bermain teater, terlalu berkerut hanya untuk menunjukkan sikap bermusuhan. Padahal dalam pengambilan gambar, wide ataupun medium close-up, rasa-rasanya tidak perlu sehiperbolik itu.


Di dalam film itu, KH. Ahmad Dahlan membuat meja kursi untuk belajar para anak sekolah. Tindakannya itu ditentang banyak orang karena dianggap mengikuti ajaran kafir. Di sisi lain, ada segerombolan orang yang merubuhkan suraunya. Sentilan buat kita, apa yang kita sebut kafir? Kalau ternyata perbuatan kita terhadap yang lain itu adalah tercela, tidak menghargai keberadaan manusia secara utuh.


Hidup memang bagaikan roda yang berputar, ada saat kita di atas dan ada saatnya berada di bawah. Sekiranya itu semua supaya hidup di dunia ini seimbang. KH. Ahmad Dahlan juga dibuat lemah, selayaknya manusia, ketika dia patah semangat karena terbakarnya suraunya. Dia merasa itu saatnya dia untuk pergi karena dia tidak diterima oleh masyarakat yang ia kenal.


Tuhan Maha Adil. Ketika umat-Nya berusaha menjadi lebih baik, Dia akan memberikan banyak kemudahan.

Komentar

Postingan Populer